Menurutnya, PT Position telah melangkahi dan menginjak kehormatan masyarakat adat Maba Sangaji dengan merusak hutan adat serta pencemaran sungai-sungai yang ada di Maba Sangaji.
“Hal ini melanggar hak asasi manusia dengan tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat Maba Sangaji yang mempertahankan hak atas lingkungan dan hak agraria sebagai sumber penghidupan,” ujar Fitriyani kepada wartawan di sela aksi tersebut.
Sekretaris DPD IMM Malut ini juga mengkritik, penerapan Pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, yang dijadikan dasar penahanan.
Menurutnya, tuduhan dan jeratan pasal tersebut menunjukan Negara melawan rakyatnya sendiri dengan menangkap warga yang sebenarnya hak protes telah dijamin oleh konstitusi.
“Dalam Pasal 28A dan pasal 28H ayat 1, Undang-Undang Nomor 32/2009 yang menjamin hak hidup dan mempertahankan hidup, hak atas lingkungan hidup yang sehat dan layak dari segala ancaman pidana maupun perdata,” tegasnya.
Selain itu, ia menuding, negara lebih memihak kepada PT Position yang merusak lingkungan dan hak masyarakat adat dibanding melindungi rakyatnya sendiri dari krisis akibat kerusakan sosial-ekologis.
Di hari yang sama, sidang terhadap 11 warga adat digelar Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan. Sidang kedua ini berlangsung dengan menghadirkan sejumlah saksi dari pihak perusahan PT Position, saksi dari para terdakwa, serta saksi dari pihak keamanan.
Sebagaimana diketahui, 11 warga itu ditangkap usai memprotes aktivitas salah satu perusahaan pertambangan di wilayah adat dengan melakukan prosesi adat berupa penancapan tiang bendera sebagai simbol protes atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan pada 18 Mei 2025.
Polisi kemudian mengamankan 27 orang untuk diperiksa di Polda Maluku Utara. Sebanyak 11 orang selanjutnya ditetapkan tersangka dan ditahan. (rud/fm)