Angka kekerasan pada perempuan di Provinsi Maluku Utara (Malut) sepanjang tahun 2025 tercatat sebanyak 130 kasus dengan 133 korbannya per 29 Juli 2025. Dari jumlah itu, Kota Ternate menjadi daerah paling tinggi jumlah kasusnya.
Ternate, Pijarpena.id
Berdasarkan data pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), jumlah kekerasan yang dilaporkan di Provinsi Maluku tercatat sebanyak 143 kasus dimana 130 (90,90 persen) terjadi pada perempuan. Sisanya, sebanyak 13 kasus dialami oleh laki-laki.
Kota Ternate jadi wilayah dengan kasus tertinggi yang tercatat sebanyak 46 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dibandingkan daerah lain.
Menyusul Kota Tidore Kepulauan (33) dan Kabupaten Halmahera Timur (21), jadi daerah dengan jumlah kasus diatas dua digit atau lebih dari sembilan.
Sementara tujuh kabupaten lainnya, rata-rata jumlah kasusnya berkisar pada satu digit atau dibawah 10 antara lain, Halmahera Utara (9), Halmahera Selatan (5), Halmahera Barat dan Pulau Morotai (4), Kepulauan Sula dan Pulau Taliabu (3) serta Halmahera Tengah (2).
Secara keseluruhan, dari jumlah 130 itu, sebanyak 92 kasus atau 70,77 persen terjadi di rumah tangga, lalu di fasilitas umum (16), tempat kerja (3), sekolah (1) dan lainnya (18).
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita menyebutkan, jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual, disusul dengan kekerasan Fisik dan psikis.
“Seksual dengan angka 66 kasus, fisik 34 kasus, psikis 21 kasus, penelantaran 14 kasus, dan lainnya sembilan kasus, eksploitasi satu kasus. Sementara trafficking (perdagangan manusia) tanpa kasus,” ujarnya pada Pijarpena.id, Selasa (29/07/2025) malam.
Butuh Upaya Pencegahan dan Sarana Pengaduan
Ia juga menambahkan, jumlah ini belum keseluruhan terdata dikarenakan keterbatasan layanan akses yang dialami oleh korban apalagi dengan kondisi geografis yang menjadi pemicu keterbatasan.
“Banyak kasus tidak terlaporkan karena korban masih takut dan trauma serta keterbatasan akses layanan pengaduan terutama di pedesaan,” tambahnya.
Dikatakan, pemerintah wajib tidak fokus pada penanganan kasus kekerasan itu saja, namun perlu juga upaya pencegahan.
“Dengan begitu, pentingnya kehadiran Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) serta membentuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di setiap desa di kabupaten dan kota se-Provinsi Maluku Utara,” pintanya.
Menurutnya, ini merupakan bagian dari pengurangan resiko apalagi korban yang dari keluarga rentan, dan dirinya berharap pemerintah daerah (Pemda) setidaknya menyediakan sedikit anggaran untuk menyediakan layanan ini.
“Hal ini bertujuan untuk memudahkan pelayanan korban dalam melakukan pengaduan apalagi korban yang berada di pelosok desa,” tutupnya penuh harap. (rud/fm)